Sejarah Angkringan, Sebuah Kebutuhan, Gaya Hidup Atau Budaya ?

Angkringan (atau beberapa menyebutnya Warung Hiks) saat ini berperan sebagai ruang publik di berbagai kota, termasuk di Ngawi. Keunggulan angkringan yang menawarkan makanan dan minuman dengan harga cukup murah, serta memberikan kebebasan pelanggannya untuk dapat duduk berjam-jam dan bebas bersosialisasi, menjadikan angkringan sebagai ruang publik yang ideal untuk terjadinya interaksi sosial bagi kelompok masyarakat tertentu, terutama masyarakat menengah ke bawah. Kontak sosial di angkringan terjadi ketika pelanggan angkringan mempelajari serta menerima norma-norma yang berlaku di angkringan, yaitu norma egalitarian dan norma penekanan terhadap komunikasi tatap muka. Keberadaan kedua norma tersebut selanjutnya menjadikan komunikasi antar pribadi dapat berlangsung secara efektif dan intens. Hal ini menjadikan angkringan sebagai ruang publik yang dapat memfasilitasi interaksi sosial yang lebih baik bagi masyarakat di seluruh sudut pelosok Kabupaten Ngawi.

salah satu angkringan di sudut Ngawi

Usaha kuliner merupakan salah satu jenis usaha yang memiliki perkembangan yang cukup baik. Usaha tersebut seakan tidak lepas dari kehidupan masyarakat, mengingat konsumsi makanan dan minuman yang disediakan oleh usaha kuliner merupakan bagian dari kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari . Salah satu pihak yang memiliki peran cukup dominan dalam usaha kuliner adalah pelaku Usaha Mikro, dan Menengah (UMKM) . Pelaku UMKM pada umumnya memilih usaha kuliner yang relatif sederhana dan mudah untuk didirikan serta dijalankan. Usaha kuliner tersebut salah satunya adalah warung angkringan. Angkringan merupakan warung tidak permanen dengan tenda dan gerobak yang pada umumnya beroperasi dari sore hingga dini hari.

Para pelaku usaha angkringan di Ngawi kebanyakan memanfaatkan ruang pedestrian, bahu jalan, atau ruang-ruang kosong lainnya di kawasan perkotaan dalam menjalankan usahanya, namun sekarang sudah merambah ke semua sudut pedesaan.

Angkringan pada umumnya menjajakan makanan dan minuman sederhana, seperti aneka gorengan, nasi bungkus atau dikenal juga sebagai nasi kucing, tempe, tahu bacem, oseng tempe, sate usus, sate telur puyuh, dan aneka lauk pauk lainnya. Minuman yang pada umumnya disajikan di angkringan adalah wedang jahe, susu jahe, teh, dan kopi serta di era sekarang ini tersedia juga beberapa minuman sachet.

Anak muda yang berjualan angkringan menjadi sebuah fenomena kebangkitan usaha ekonomi kreatif di tengah gempuran kafe dan restoran milenial

Kata angkringan sendiri berasal dari Bahasa Jawa, yaitu angkring atau nangkring, yang berarti duduk santai atau duduk bebas . Sejarah angkringan diawali oleh Mbah Karso atau Djukut yang berasal dari Desa Ngerangan, Bayat, Klaten. Pada awalnya Mbah Karso merantau ke Kota Surakarta pada tahun 1930-an. Mbah Karso bekerja sebagai penjual terikan (masakan khas Jawa Tengah dengan kuah kental dan lauk tempe atau daging) dan menjadi anak buah dari juragan terikan bernama Wono.

Pada tahun 1943, Mbah Wiro berinisiatif menambahkan cerek berisi kopi dan jahe pada pikulan masakan teriknya. Hal ini menjadi cikal bakal dari angkringan pertama. Selanjutnya teman Mbah Wiro bernama Wiryo turut menyusul ke Kota Surakarta  dan  bergabung  dengan  usaha
angkringan Mbah Wiro. Wiryo meracik minuman jahe dan teh yang selanjutnya menjadi ciri khas dari angkringan. Di awal kehadirannya, pelaku usaha angkringan pada awalnya menggunakan pikulan yang terbuat dari bambu. Pikulan tersebut dilengkapi dengan bangku untuk penjual, anglo atau tungku berbahan bakar arang, serta alat dan bahan makanan serta minuman seperti cerek. Pelaku usaha angkringan pada waktu itu masih cenderung berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya dengan pikulannya tersebut.

salah satu menu bakaran angkringan di sudut Ngawi

Selanjutnya, pada tahun 1975 pelaku usaha angkringan beralih menggunakan gerobak dorong yang dilengkapi dengan terpal plastik, lampu teplok, tungku arang, dan cerek besar. Penggunaan gerobak ini hingga sekarang menjadi identitas sekaligus ciri khas dari angkringan .Pada akhirnya, pedagang angkringan memutuskan untuk berjualan secara menetap dan tidak lagi berkeliling dengan gerobak dorong. Awalnya angkringan hanya ada di Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta, dimana istilah angkringan atau warung kucing lebih umum digunakan di Kota Yogyakarta, sedangkan di Kota Surakarta usaha angkringan lebih dikenal dengan istilah hik (dibaca hek). Istilah ini diambil dari kebiasaan pedagang pikulan di Kota Surakarta yang biasa berteriak hiik iyeeekk, termasuk pelaku usaha angkringan yang pada awalnya masih menggunakan pikulan. Meskipun pelaku usaha angkringan di Kota Surakarta juga sudah berjualan secara menetap dan tidak lagi berkeliling dengan pikulan, namun istilah hik tetap melekat sebagai nama angkringan di Kota Surakarta hingga sekarang.

Seiring dengan berjalannya waktu, angkringan tidak lagi hanya dapat ditemui di Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta saja, namun angkringan sudah mulai menyebar ke sejumlah kota di Indonesia. Salah satunya di Ngawi kita tercinta, di kota ini, angkringan dapat dijumpai hampir di semua sudut kota Ngawi hingga merambah ke pedesaan. Usaha angkringan di wilayah ini sendiri cukup populer. Bahkan tak jarang bila di malam hari terjadi kemacetan akibat banyaknya pengunjung yang memadati usaha angkringan tersebut.

Keberhasilan usaha angkringan untuk berekspansi ke kota-kota lain di Indonesia tidak terlepas dari sejumlah keunggulan usaha angkringan. Angkringan pada umumnya menjajakan makanan dan minuman dengan harga cukup murah, pelanggan angkringan juga bebas untuk duduk berjam- jam tanpa harus khawatir diusir oleh pemilik usaha angkringan. Pelanggan juga dapat menikmati makanan dan minuman dengan duduk bebas (satu kaki diangkat), atau jika memungkinkan sambil tiduran, dan tak jarang ada pertunjukan live musik juga.

Sejumlah angkringan juga dilengkapi dengan fasilitas seperti Wi-Fi, sehingga semakin membuat betah pelanggan angkringan. Keunggulan angkringan tersebut secara tidak langsung menjadikan angkringan bertransformasi tidak hanya sebatas bisnis kuliner saja, namun sudah menjadi ruang publik dan tempat terjadinya interaksi sosial untuk kelompok masyarakat tertentu, terutama masyarakat menengah ke bawah, atau masyarakat dengan daya beli terbatas, seperti mahasiswa, pelajar, dan bahkan karyawan kantor.

Hal ini mengingat angkringan merupakan ruang publik yang cukup egaliter, dikarenakan setiap orang dapat menikmati makanan dan minuman dengan harga cukup murah, serta dapat duduk berjam-jam dan bebas bersosialisasi tanpa adanya hambatan. Selanjutnya, sebagai ruang terjadinya interaksi sosial, adanya angkringan juga memungkinkan terjadinya kontak sosial dan komunikasi antar pelanggan angkringan tersebut, dan beberapa komunitas menjadikan sebagai tempat tongkrongan, atau workspace kedua mereka setelah kantor.

SUDAHKAH ANDA NGANGKRING HARI INI ?? (d’jamband09/2023)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *